MERDEKAZONE.COM – LAMONGAN, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamongan resmi menahan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPH-U) Lamongan.
Tersangka tersebut diantaranya MW, SA, dan DMA. Mereka ditahan usai ditetapkan sebagai tersangka dalam tahap penyidikan. Penahanan dilakukan hari ini, Selasa, (23/4/25).
Anton Wahyudi Kasie Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Lamongan menyebutkan para tersangka dijerat dengan pasal primair Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Secara subsidair, lanjut Anton, mereka juga dikenakan Pasal 3 undang-undang yang sama. “Penahanan terhadap MW dan DMA dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Lamongan. Sedangkan tersangka SA ditahan di Cabang Rumah Tahanan Negara Kelas I Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,” beber Anton.
“SA diketahui telah mengajukan permohonan sebagai justice collaborator (JC) sejak 13 Februari 2025. Masa penahanan ketiga tersangka ditetapkan selama 20 hari, terhitung mulai dari 23 April 2025 hingga 12 Mei 2025,” imbuh dia.
Anton juga menyampaikan, bahwa alasan penahanan didasarkan pada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, dan menghilangkan barang bukti.
“Tindak pidana yang disangkakan diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun,” ucapnya.
Dari hasil penyidikan, jaksa berhasil mengamankan 53 barang bukti berupa dokumen, handphone, dan uang tunai senilai Rp. 88.193.997,65. Adapun kerugian negara akibat perbuatan para tersangka mencapai Rp. 331.616.854,00.
Anton menegaskan, pihaknya akan terus mengusut tuntas kasus ini hingga ke tahap persidangan. ” Terkait dimungkinkan adanya penambahan tersangka lagi dalam perkara ini, kita lihat nanti di fakta persidangan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kuasa hukum tersangka Wahyudi, Muhammad Ridlwan menilai, penetapan kliennya sebagai tersangka tidak berdasar dan terkesan dipaksakan.
Ridlwan menyampaikan, bahwa berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara dalam proyek tersebut hanya sebesar Rp 92 juta lebih. Kerugian itu pun, menurut dia, disebabkan oleh kesalahan administratif dan telah dikembalikan oleh pihak ketiga sesuai rekomendasi BPK.
“Sejak awal, klien kami bingung atas penetapan tersangka ini. Jika berbicara korupsi, harus ada audit yang sah dari BPK. Dan faktanya, kerugian berdasarkan audit BPK sudah dikembalikan dan permasalahan dianggap selesai,” ujarnya.
M. Ridlwan juga mempertanyakan dasar penetapan tersangka apabila ada audit lain selain BPK.
Ia menegaskan, bahwa menurut undang-undang, lembaga yang berwenang menetapkan kerugian negara hanyalah BPK, bukan akuntan publik atau lembaga yang lainnya.
“Kalaupun ada audit dari akuntan publik, hasil audit tersebut harus diumumkan dan dilaporkan ke BPK. Tidak bisa serta merta menjadi dasar penetapan tersangka tanpa proses yang jelas,” tambahnya.
Menurutnya, dalam perkara ini, penyidik terkesan mengabaikan rekomendasi BPK dan memaksakan proses hukum, tanpa memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku.
“Kalau kita bicara hukum pidana, harus ada dua alat bukti yang sah, dan itu belum terpenuhi. Prinsip kami sederhana, hukum harus dijalankan sesuai aturan, tidak bisa dibuat-buat,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ridlwan mengungkapkan, pihaknya telah menempuh langkah hukum dengan mengajukan permohonan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap kliennya. Sidang praperadilan, kata dia, dijadwalkan pada 30 April 2025.
Ditanya terkait permohonan penangguhan penahanan, pihak kuasa hukum mengaku belum mengajukan permohonan penangguhan penahanan, namun tetap akan menempuh berbagai upaya hukum lainnya untuk membela hak-hak kliennya. (IL)